Di sebuah desa kecil yang sejuk dan damai, terdapat sebuah masjid sederhana yang menjadi pusat kehidupan masyarakat. Masjid itu dirawat oleh seorang merbot bernama Mas Dimas. Selama 20 tahun, ia bukan hanya merawat masjid, tetapi juga menjadi imam shalat, mengumandangkan adzan, dan mengajarkan ilmu agama kepada anak-anak desa.
Tak pernah sekalipun Mas Dimas mengeluh, meskipun hidupnya sangat sederhana. Baginya, melayani rumah Allah adalah kehormatan. Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, ada satu impian yang selalu ia pendam—pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
Pengabdian yang Tak Kenal Lelah
Setiap hari, sejak subuh hingga malam, Mas Dimas setia mengurus masjid. Ia membersihkan karpet, memastikan air wudhu mengalir, dan merapikan Al-Qur’an di rak. Selain itu, ia juga sering membantu jamaah yang membutuhkan, mulai dari membawakan barang, mengantar anak-anak ke sekolah, hingga menjadi tempat curhat bagi warga.
Meskipun upah yang diterimanya tidak seberapa, Mas Dimas tak pernah meminta lebih. Ia hanya berharap keberkahannya ada di setiap langkah pengabdiannya. Namun, untuk berhaji, ia tahu biayanya sangat besar—jauh dari jangkauannya.
Hadiah Tak Terduga dari Jamaah Masjid
Tahun ke-20 pengabdiannya, tanpa sepengetahuannya, para jamaah masjid yang selama ini merasakan ketulusan dan pengorbanannya diam-diam mengumpulkan dana. Mereka sepakat untuk memberikan hadiah terbesar bagi Mas Dimas: biaya penuh untuk berangkat haji.
Pada suatu malam setelah shalat Isya, ketua takmir masjid mengumumkan sesuatu yang menggetarkan hati semua orang.
"Mas Dimas, selama 20 tahun engkau telah mengabdi tanpa pamrih. Kami semua berhutang budi atas ketulusanmu. Oleh karena itu, dengan izin Allah, kami ingin memberangkatkanmu ke Tanah Suci tahun ini. Semua biaya sudah kami tanggung."
Mata Mas Dimas langsung berkaca-kaca. Ia tak mampu berkata-kata, hanya bisa bersujud syukur di lantai masjid yang telah ia rawat bertahun-tahun. Suasana menjadi haru, banyak jamaah ikut meneteskan air mata.
Anda juga bisa berikhtiyar dengan haji tanpa antri, Haji Furoda 2026, agar waktu tunggu bukan menjadi masalah lagi.
Perjalanan Spiritual ke Tanah Suci
Saat akhirnya berangkat ke Tanah Suci, Mas Dimas masih seperti tak percaya. Dengan pakaian ihram yang sederhana, ia melangkahkan kaki ke Masjidil Haram untuk pertama kalinya. Saat melihat Ka’bah di hadapannya, air matanya mengalir deras. Hatinya bergetar hebat.
"Ya Allah, Engkau Maha Pemurah. Aku hanyalah hamba-Mu yang hina, tapi Engkau izinkan aku menjadi tamu-Mu," lirihnya dalam doa.
Ibadah haji dijalaninya dengan penuh kekhusyukan. Saat wukuf di Arafah, ia menangis sejadi-jadinya, mengenang perjalanan hidupnya yang penuh ujian, namun selalu dalam lindungan Allah. Saat melontar jumrah di Mina, ia merasa seperti sedang melempar semua keraguan dan kesedihan dalam hidupnya. Semua diganti dengan ketenangan dan keyakinan yang lebih kuat kepada-Nya.
Kembali ke Tanah Air dengan Hati yang Baru
Sepulang dari haji, Mas Dimas kembali ke masjidnya dengan semangat baru. Ia semakin giat mengabdi, bukan hanya sebagai merbot, tetapi juga sebagai teladan bagi jamaah. Ia sering berbagi kisah spiritualnya di Tanah Suci, memberikan motivasi kepada orang-orang agar tidak pernah berhenti berharap kepada Allah.
Tak lama setelah kepulangannya, masjid tempatnya mengabdi direnovasi oleh seorang dermawan, dan nama Mas Dimas diabadikan sebagai bagian dari sejarah masjid tersebut. Ia tetap menjalani hidup sederhana, tetap melayani, tetap rendah hati. Namun kini, hatinya lebih tenang, karena impian yang selama ini ia pendam telah diwujudkan oleh Allah dengan cara yang begitu indah.
Kesimpulan
Kisah Mas Dimas adalah bukti bahwa ketulusan dan pengabdian tidak akan pernah sia-sia. Allah selalu punya cara untuk membalas kebaikan hamba-Nya, bahkan melalui jalan yang tak terduga. Semoga kisah ini menjadi inspirasi bagi kita semua untuk selalu ikhlas dalam berbuat baik, karena kebaikan itu pasti akan kembali kepada kita, cepat atau lambat.
Aamiin.